“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS 30:30)
Di tahun 1858 ahli biologi Charles Darwin (1809- 1882) memberikan ceramah yang disponsori oleh Perhimpunan Linnean di London. Dan setahun kemu- dian terbitlah buku legendarisnya The Origin of Species (1859), yang kemudian menjadi cikal bakal Teori Evolusi Darwin.
Menurut Darwin, semua bentuk hidup dan jenis mahkluk yang kini ada di dunia, dengan dipengaruhi oleh berbagai macam proses alamiah, berevolusi (berkembang sangat lambat) dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana (yaitu mahkluk-mahkluk satu sel) menjadi beberapa jenis baru yang lebih kompleks.
Mahkluk-mahkluk jenis baru itu masing-masing berevolusi juga, menjadi jenis-jenis baru yang bertambah kompleks lagi. Dan demikian seterusnya, hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun, terjadilah jenis-jenis makhluk yang paling kompleks, seperti kera dan manusia.
Orang awam di Eropa Barat mula-mula sangat menentang pendirian tadi, dan walaupun sudah ada berbagai tulisan mengenai proses sejarah evolusi masyarakat manusia pada waktu itu, tetapi gagasan mengenai evolusi jenis-jenis hidup belum dapat diterima. Hal itu antara lain disebabkan karena pada pertengahan abad ke-19 di Eropa ada suatu pembangkitan dan pengetatan kembali dari kehidupan keagamaan.
“Teori Evolusi” Darwin itu dianggap gagasan orang kafir yang bertentangan dengan keyakinan agama, yang meng atakan bahwa semua jenis mahkluk di dunia (termasuk manu sia), merupakan hasil ciptaan Tuhan yang mutlak. Kecuali itu, gagasan bahwa manusia dan kera merupa kan keturunan dari suatu makhluk yang sama, bahkan manusia adalah keturunan kera, merupakan gagasan yang terlampau sulit untuk diterima akal sehat. Bahkan sampai kini masih saja menjadi polemik.
Seleksi Alam
Di samping Darwin ada pula ahli biologi lain, yaitu Albert Wallace (1823-1913), yang secara terpisah dari Darwin juga telah mengembangkan gagasan tentang evolusi mahkluk di dunia yang sama. Walaupun Wallace lebih memperluas soal proses seleksi alam dalam penentuan bentuk fisik dan jenis-jenis yang baru dalam proses evolusi.
Darwin hanya menyebutkan seleksi alam itu secara sepintas lalu dalam ceramahnya. Pada dasarnya memang tidak ada perbedaan antara teori mengenai proses evolusi dari kedua ahli biologi itu. Keduanya berpendirian, bahwa di antara individu-individu dalam satu jenis mahiduk selalu ada perbedaan-perbedaan kecil.
Beberapa individu yang lemah kurang dapat bertahan terhadap tekanan-tekanan alam, lalu mati. Sedangkan individu-individu yang lebih kuat dapat bertahan dan hidup langsung, melahirkan keturunan dan mewariskan sifat-sifatnya yang kuat kepada sebagian dari keturunannya.
Menurut Wallace, semakin kejam dan keras tekanan alam, maka semakin tinggi pula mutu yang menjadi syarat bagi organisme individu dalam suatu jenis makhluk pada suatu gene- rasi tertentu. Dan apabila keadaan alam berubah, maka hanya individu dari suatu jenis yang memiliki sifat-sifat yang dapat memenuhi syarat-syarat alamiah itulah yang dapat bertahan untuk hidup terus. Inilah yang oleh Darwin dan Wallace disebut “Seleksi Alam.”
Penciptaan dan Evolusi
Penelitian mengenai aneka warna tubuh manusia, secara otomatis membawa para ahli anatomi, biologi dan fisiologi kepada masalah asal mula manusia. Misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan: apakah berbagai ras manusia itu berasal dari berbagai macam kera, atau dari satu macam kera saja, atau dari berbagai anak Nabi Adam ?.
Para ahli tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai asal mula manusia itu, karena sampai permulaan abad ke-19 sebagian besar dari dunia ilmiah di Eropah belum dapat membayangkan berapa sebenarnya umur manusia di muka bumi ini. Pandangan resmi dari Gereja Katolik, misalnya didasarkan atas perhitungan dari seorang uskup bernama Usher, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan pada tahun 400 SM.
Penelitian-penelitian terhadap masalah asal mula manusia dengan menganalisa dan membanding-bandingkan fosil-fosil manusia zaman dahulu yang terkandung dalam lapisan-lapisan bumi di berbagai tempat, menjadi ilmu baru yang merupakan bagian dari ilmu antropologi fisik dengan sebutan ilmu Paleo anthropologi. Buku yang memberi pandangan baru terhadap umur adanya manusia di dunia, antara lain adalah tulisan ahli geologi C. Lyell, The Geological Evidence of the Antiquity of Man (1863).
Terbitnya buku kedua dari Darwin, Descent of Man (1871), dimana ia mengkhususkan kepada masalah hubungan antara seleksi alam dan evolusi manusia, mendorong suatu aktivitas besar untuk mengklarifikasi dan meneliti lebih mendalam berbagai penemuan fosil manusia tersebut di atas.
Penelitian-penelitian secara sistematis terhadap benda-benda bekas kebudayaan manusia zaman dahulu itu, antara lain dimulai oleh J. Boucher de Pertes. Dia sebenarnya pegawai pos, yang mengumpulkan batu-batu tua sebagai kesenangan pengisi waktu senggang saja. Kemudian seiring dengan kemajuan ilmu geologi dan paleo antropologi, mulailah aktivitas penelitian dari suatu ilmu yang baru, yaitu pre histori. Yakni berupa penggalian-penggalian terhadap benda-benda bekas alat-alat manusia dari Zaman Batu Tua, Zaman Batu Madya, dan Zaman Batu Baru.
Kejadian Manusia Menurut Al-Qur’an
Seandainya Darwin maupun Wallace serta koleganya mau membaca Kitab Al-Qur’an, tentu mereka tak perlu repot-repot mengadakan segala macam penelitian itu. Sebab dalam Surat 23 (Al-Mu’minuun) sudah dijelaskan perkembangan kejadian manusia dan kehidupannya di akhirat.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (QS 23:12)
“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).” (QS 23:13)
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS 23:14)
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.” (QS 23:15)
“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (QS 23:16)
Adapun mengenai perbedaan warna kulit, disebut dalam Surat 30 (Ar Ruum) dan 49 (Al Hujuraat) yang menjelaskan, bahwa manusia itu diciptakan berbagai suku bangsa dan bahasa agar saling kenal. Dan ukuran keunggulan manusia bukan pada kekuatan tubuhnya, tapi karena taqwanya kepada Allah Swt.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS 30:22)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS 49:13).
Dari kasus ini dapat dipetik hikmah, bahwa setinggi apapun ilmu pengetahuan yang dapat dicapai manusia, harus kembali disandarkan kepada Al-Qur’an. Karena “Allah Maha Tahu, Maha Luas Ilmunya, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 2:29).
*) Dra. Agus Setyawati: Alumnus Fisip Jur. Antropologi Unhas Makassar
0 comments: